Koperasi dan Ide Kemakmuran
KOPERASI sebagai soko guru perekonomian nasional, namun sepertinya gerakan koperasi jalan di tempat, bahkan terkesan mundur. Apa yang bisa kita catat menyambut HUT ke-63 Koperasi yang jatuh pada 12 Juli 2010 ini? Setidaknya ada tiga argumen, pertama, ketika kebebasan politik masih mendominasi cara pikir masyarakat dan diskursus publik, maka mimpi untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial biasanya sejenak terlupakan.
Kedua, bagi para pengusung gagasan (ekonomi-politik) pasar bebas, jargon ‘pemerataan’ bukanlah jawaban untuk melawan kemiskinan, pengangguran atau ketimpangan ekonomi. Pemerataan, menurut pendukung gagasan neoliberal, akan membuat para elite dominan ‘marah’. Bisa merusak stabilitas politik yang menjadi fundamen penting bagi pertumbuhan ekonomi (Bank Dunia, Attacking Poverty, 2000).
Ketiga, di era ekonomi, di mana logika akumulasi kapital dan dominasi pasar menjadi semacam matra mujarab, kehadiran koperasi (termasuk jenis usaha mikro-kecil) kerap dilihat sebagai anomali.
Prioritas negara bukan memberi jaminan sosial dan menebar kesejahteraan bagi warganya yang miskin, namun memastikan kue kekuasaan telah terdistribusi secara merata di antara para elite yang ada.
Faktanya, 12 tahun perjalanan reformasi tak ada noktah berarti yang bisa dibanggakan bangsa ini dari dunia perkoperasian. Gerakan koperasi terkesan jalan di tempat jika bukan bergerak mundur. Koperasi tak pernah punya peluang menjadi sokoguru ekonomi nasional.
Undang-undang Koperasi, kementerian koperasi (dan UKM), dan jajaran satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota yang khusus dibuat untuk menjalankan fungsi perkoperasian (dan UKM), tampaknya hadir sekadar menggugurkan amanat konstitusi, atau tak lebih dari pelengkap struktur pemerintahan.
Koperasi bahkan pernah dianggap sebagai ide ‘ilutif’ yang sulit dibumikan, sehingga istilah koperasi oleh para politisi Senayan sempat akan dicoret dari daftar nomenklatur konstitusi kita dalam proses amandemen UUD 1945 di awal reformasi lalu.
Faktanya, eksistensi koperasi hingga kini tak lebih dari unit usaha rakyat yang marjinal-periferal. Negara tak pernah berniat memilih koperasi sebagai alternatif guna menjawab problem kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang muncul sebagai akibat dari distorsi pasar yang berwatak kanibal alias siap memangsa yang lemah.
Implikasi dari dalil-dalil ekonomi propasar (seperti pertumbuhan, efisiensi, kompetisi, privatisasi, liberalisasi atau deregulasi), praktis telah mendominasi seluruh arah kebijakan dan sendi-sendi kehidupan ekonomi negara. Problemnya, dalil-dalil propasar itu di tingkat praktis, kita rasakan kian berseberangan dengan tujuan keadilan sosial.
Yang ada, dalil ekonomi propasar melahirkan pertumbuhan yang timpang, gap sosial yang makin lebar serta kemiskinan yang kian masif dan eksesif. Singkatnya, matra pasar bebas kian menjauhkan misi negara dari cita-cita kemerdekaan.
Kondisi itulah yang jauh hari telah diprediksi oleh para pendiri bangsa. Atas dasar itulah, mengapa perekonomian nasional dengan tegas diletakkan di bawah bab ‘Kesejahteraan Sosial’ dalam UUD 1945. Tujuannya agar kesejahteraan rakyat menjadi titik sentral dari seluruh napas kebijakan ekonomi negara.
Melalui proteksi regulasi dan dukungan kelembagaan yang kuat dari negara, koperasi (yang berorientasi pada golongan miskin dan usaha kecil-menengah/UKM) sebenarnya bisa berperan sebagai unit usaha yang produktif, kompetitif, dan profitabel.
Catatan sejarah menunjukkan, sebagai gerakan yang bertujuan menyejahterakan hidup masyarakat, terutama yang hidup di lapis miskin dan marjinal, koperasi tumbuh seiring dengan semangat kemerdekaan.
Per definisi, gerakan usaha berasas mutual cooperation itu, menurut Bung Hatta memiliki tujuan dan cita-cita mulia: “menjamin kehidupan bangsa yang lebih sejahtera berdasarkan prinsip kekeluargaan dan gotong royong” (Pidato Bung Hatta pada peringatan Hari Koperasi, 12 Juli 1977).
Koperasi bukanlah unit usaha yang semata berorientasi profit. Visi dasarnya adalah memberi keuntungan dan manfaat bagi seluruh anggotanya.
Negara kesejahteraan yang juga manganut sistem ekonomi terbuka dan pertumbuhan ekonomi tinggi yang telah mempraktikkan bentuk usaha koperasi sejak awal abad ke-19 seperti Jerman, Swedia, Finlandia atau Denmark, telah membuktikan peran koperasi sebagai pilar penting bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi negara.
Di Indonesia, di samping badan usaha milik negara/daerah (BUMN/D) dan swasta, koperasi adalah pelaku penting dari perekonomian nasional. Sejak kelahirannya, gerakan koperasi disadari sebagai upaya rakyat untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama, menuju kemakmuran dalam kebersamaan dan bersama dalam kemakmuran.
Seperti termaktub dalam UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, lingkup kegiatan koperasi meliputi empat sektor kegiatan, yakni koperasi konsumsi, produsen, pemasaran, dan koperasi jasa.
Data per 2000 menunjukkan, jumlah anggota koperasi tercatat 27,3 juta orang dari sekitar 103.000 jenis usaha koperasi yang ada. Sementara volume usaha koperasi Rp 23,1 triliun dengan sisa hasil usaha (SHU) mencapai Rp 694,5 miliar.
Problemnya, pemerintah (termasuk institusi perbankan dan dunia usaha) kurang memberi perhatian dan dukungan konkret pada gerakan koperasi.
Andai saja negara berpihak pada gerakan koperasi (dan UKM), model gerakan ekonomi rakyat itu sesungguhnya bisa menjadi solusi efektif dalam mengoreksi distorsi pasar, mendorong laju pertumbuhan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat.
Dalam menapaki usianya yang kian uzur, koperasi dituntut untuk selalu merevitalisasi perannya sebagai gerakan ekonomi rakyat yang telah teruji sanggup menebar benih-benih kesejahteraan. Melalui visi transformatifnya, koperasi bisa menjadi metoda sekaligus aksi nyata guna melawan sumber kemiskinan dan ketidakadilan struktural, yang nyaris kita rasakan setiap hari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar